Sunday 26 May 2013

Pengertian Janabah







Firman Allah Ta’ala:
  و إن كنتم جنبا فاطهروا
Dan jika kamu junub maka mandilah“.
Janabah adalah untuk dua orang :
Pertama: Orang yang keluar mani walaupun dengan tanpa jima’, berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ
Sesungguhnya air (mandi) itu karena air (mani)“. (HR Muslim).[1]
Dan mengeluarkan mani ada dua keadaan :
  1. Keadaan sadar
    Orang yang mengeluarkan mani dalam keadaan sadar, syarat wajibnya mandi adalah apabila keluarnya dengan syahwat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : إِذَا فَضَخْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ
    “Apabila engkau melemparkan air mani maka mandilah”. (HR Abu Dawud dan An Nasai).[2]
    Dan di dalam riwayat Ahmad dalam musnadnya[3] dengan lafadz :
    إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنْ الْجَنَابَةِ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفًا فَلَا تَغْتَسِلْ
    “Apabila engkau melemparkan (mani) dari janabah mandilah, dan apabila tidak maka tidak perlu mandi”.
    Dan melemparkan mani tidak akan terjadi bila tanpa syahwat sebagaimana firman Allah:
    خلق من ماء دافق
    “Diciptakan dari air yang terpancar”. (Ath Thariq : 6).
    Dan apabila ia mengeluarkan maninya dengan tanpa syahwat, namun karena sakit dan sebagainya, maka tidak ada kewajiban mandi baginya, dan ini adalah pendapat jumhur ulama dan itulah yang rajih,  Wallahu a’lam.
  2. Dalam keadaan tidur (mimpi).
    Orang yang mengeluarkan mani dalam keadaan tidur wajib mandi walaupun dengan tanpa syahwat, sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha ia berkata : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا قَالَ يَغْتَسِلُ وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدْ احْتَلَمَ وَلَا يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ
    “Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam ditanya tentang seorang laki-laki mendapati basah dan tidak ingat mimpi, beliau menjawab: “Hendaklah ia mandi”. Dan ditanya tentang seorang laki-laki bermimpi namun tidak mendapatkan basah, beliau menjawab: “Tidak ada mandi untuknya”.
    Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (233) dan At Tirmidzi (113) dengan sanad yang lemah karena dalam sanadnya ada Abdullah bin Umar Al Umari seorang perawi yang dla’if, namun makna hadits ini dikuatkan oleh hadits Ummu Salamah ia berkata:
    جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ
    “Ummu Sulaim istri Abu Thalhah datang kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi jika bermimpi ?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iya, apabila ia melihat air (mani)”. (HR Bukhari dan Muslim).[4]
    Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang bermimpi dan melihat air mani maka wajib baginya mandi janabah, dan mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) hadits ini menunjukkan bahwa apabila ia tidak melihat air maka tidak wajib mandi. Dan sabda beliau : “Apabila ia melihat air (mani)”. Menunjukkan bahwa wajibnya mandi bagi orang yang bermimpi tergantung kepada melihat air mani atau tidak, baik mengeluarkannya dengan syahwat maupun tidak, karena lafadznya mutlak, wallahu a’lam.
Kedua : Bertemunya kemaluan laki-laki dan wanita (jima’) walaupun tidak mengeluarkan air mani.
Batasan pertemuan dua kemaluan adalah apabila kepala kemaluan pria masuk ke dalam kemaluan wanita, dan ini dengan ijma’ para ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Dan bertemunya dua khitan yakni lenyapnya kepala kemaluan pria dalam kemaluan wanita, karena inilah yang mewajibkan mandi, sama saja apakah keduanya berkhitan ataupun tidak… jika kemaluan (pria) hanya menempel di kemaluan (wanita) dengan tanpa masuk maka tidak wajib mandi dengan kesepakatan ulama”.[5]
Bertemunya kemaluan laki-laki dan wanita mewajibkan mandi berdasarkan hadits :
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Apabila ia duduk (jima’) diantara cabangnya yang empat kemudian bersungguh-sungguh maka wajib baginya mandi”. (HR Bukhari dan Muslim)[6] dan dalam riwayat Muslim ada tambahan: “Walaupun ia tidak mengeluarkan mani”.
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَت إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ
“Dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seorang suami yang menyetubuhi istrinya, kemudian malas (tidak mengeluarkan mani), apakah keduanya wajib mandi? sementara Aisyah sedang duduk, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku melakukan demikian dengan wanita ini (Aisyah) kemudian kami mandi”. (HR Muslim).[7]
Dan ini adalah madzhab jumhur ulama yaitu bertemunya kemaluan pria dan wanita walaupun tidak mengeluarkan mani, dan itulah yang rajih.

[1] Muslim no 343, tarqim Muhamad Fuad Abdul Baqi.
[2] Abu Dawud no 206 dan An Nasai no 193 dari Ali bin Abi Thalib. Qultu : Sanadnya hasan semua perawinya tsiqah kecuali ‘Abiidah bin Humaid, Al Hafidz berkata: “Shoduq rubama akhtho”. Namun hadits ini mempunyai jalan lain dari Ali yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya dengan sanad yang hasan sebagaimana yang akan disebutkan, sehingga hadits ini terangkat menjadi shahih.
[3] Musnad Ahmad bin Hanbal no 847 ta’liq Syu’aib Al Arnauth. Qultu : sanadnya hasan semua perawinya tsiqah kecuali Rizam bin Sa’id, Al Hafidz berkata: “Shoduq”. Dan hadits ini menjadi shahih dengan jalan sebelumnya. Wallahu a’lam.
[4] Bukhari no 282 dan Muslim no 313.
[5] Ibnu Qudamah, Al Mughni 1/271.
[6] Bukhari no 291, dan Muslim no 348.
[7] Muslim no 350.

source : http://cintasunnah.com/pengertian-janabah/ tanggal 26 Mei 2013

Takhrij Hadits: Sajada Wajhi (Do’a Sujud Tilawah)



عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي سُجُودِ الْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ يَقُولُ فِي السَّجْدَةِ مِرَارًا سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
“Dari Aisyah radliyallahu ‘anha ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata dalam sujud Al Qur’an di waktu malam berkali-kali: “Sajada wajhii lilladzi khalaqahu wa syaqqa sam’ahu wa basharahu bihaulihi waquwwatihi“.
Hadits ini dikeluarkan Abu Dawud dari jalan Isma’il bin ‘Ulayyah haddatsana Khalid Al Hadzaa dari seorang laki-laki dari Abul ‘Aliyah dari Aisyah. Qultu (Abu Yahya): “Sanad ini lemah karena terdapat perawi yang mubham (tidak disebutkan namanya)”.
Akan tetapi Isma’il bin Ulayyah ini diselesihi sejumlah perawi lain yang tsiqat yang meriwayatkan dari Khalid dari Abul ‘Aliyah dari Aisyah tanpa menyebutkan lelaki yang mubham tersebut. Mereka adalah Abdul Wahhab Ats Tsaqafi yang dikeluarkan oleh An Nasai dalam Al Kubra (714) dan lainnya haddatsana Khalid Al Hadzaa dari Abul ‘Aliyah dari Aisyah radliyallahu ‘anha.
Demikian juga Wuhaib bin Khalid dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadraknya (800) dan Sufyan bin Habib dikeluarkan oleh Ad Daraquthni dalam sunannya (no 2), dan Husyaim bin Basyiir dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya (no 4405) semuanya meriwayatkan dari Khalid Al Hadzaa dari Abul ‘Aliyah dari Aisyah tanpa menyebutkan lelaki yang mubham tersebut.
Sehingga periwayatan Isma’il bin ‘Ulayyah seakan bertentangan dengan periwayatan empat perawi tsiqat di atas, oleh karena itu sebagian ulama menganggap bahwa periwayatan Isma’il bin Ibrahim ini termasuk periwayatan yang syadz, dan bahwa yang shahih adalah periwayatan empat perawi yang tsiqat karena mereka jumlahnya lebih banyak. (Shahih Sunan Abi Dawud).
Namun menurut hemat saya periwayatan Isma’il bin ‘Ulayyah ini tidak bisa dianggap syadz karena empat alasan:
Pertama: Khalid Al Hadzaa meriwayatkan dari Abul ‘Aliyah dengan lafadz ‘an yang artinya: “Dari”. Dan lafadz ini tidak gamblang menunjukkan kebersambungan sanad, kecuali bila Khalid meriwayatkannya dengan lafadz haddatsana Abul ‘Aliyah.
Kedua: Al Hafidz ibnu Hajar mensifati Khalid ini sebagai perawi yang tsiqah namun banyak memursalkan sanad, dan sanad ini ada kemungkinan dimursalkan oleh Khalid pada periwayatan empat orang di atas.
Ketiga: Imam Ahmad mengatakan bahwa Khalid Al Hadzaa tidak mendengar dari Abul ‘Aliyah sebagaimana yang dinukil oleh ibnu Hajar dalam Taqributtahdzib (3/105).
Oleh karena itu ibnu Khuzaimah berkata: “Sesungguhnya aku meninggalkan khabar Abul ‘Aliyah dari ‘Aisyah.. karena antara Khalid dan Abul ‘Aliyah ada seorang perawi yang tidak disebutkan namanya”. (Shahih ibnu Khuzaimah 1/283).
Empat: Isma’il bin ‘Ulayyah adalah perawi yang sangat tsiqah, maka tidak semudah itu untuk menyalahkan imam ini, terlebih bila kita perhatikan lafadz periwayatannya yaitu dengan lafadz ‘an yang mengandung kemungkinan antara mendengar dan tidak.
Dan Al Hafidz ibnu Hajar condong kepada pendapat ini dalam kitabnya”Nataijul afkaar (2/111), beliau berkata setelah menyebutkan perkataan ibnu Khuzaimah: “Aku keluarkan hadits ini agar para penuntut ilmu hadits tidak tertipu dan menganggapnya shahih padahal tidak demikian karena Khalid Al Hadzaa tidak mendengar dari Abul ‘Aliyah namun antara kedua antara perantara seorang perawi”.
Beliau berkata: “Beliau (ibnu Khuzaimah) mengisyaratkan kepada riwayat Isma’il bin ‘Ulayyah haddatsana Khalid Al Hadzaa dari seseorang dari Abul ‘Aliyah. ‘illat ini tersembunyi pada At Tirmidzi sehingga beliau menshahihkannya, dan ibnu Hibbanpun tertipu oleh lahiriahnya dimana beliau mengeluarkan dalam shahihnya dari ibnu Khuzaimah, dan Al Hakim juga ikut menshahihkannya, seakan-akan keduanya lupa kepada perkataan guru mereka (yaitu ibnu Khuzaimah), dan Ad Daraquthni menyebutkan perselisihan ini dalam ‘ilalnya…”.
Qultu (Abu Yahya): “Ad Daraquthni dalam ‘ilalnya (14/395) menyebutkan perselisihan ini dan dan mengatakan bahwa periwayatan Isma’il bin ‘ulayyah yang benar”. Sehingga hadits ini dla’if.
Namun Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah dalam nataijul afkar menyatakan bahwa hadits ini hasan karena mempunyai syahid dari hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: “Aku katakan hadits ini hasan karena ia mempunyai syahid dari hadits Ali walaupun untuk sujud secara mutlak”. (Nataijul afkaar 2/111).
Qultu (Abu Yahya): “Hadits Ali yang dimaksud lafadznya adalah:
وَإِذَا سَجَدَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“..Dan apabila beliau sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu wa bika aamantu walaka aslamtu sajada wajhii lilladzii khlaqahu wa shawwarahu wa syaqqa sam’ahu wa basharahu tabarakallahu ahsanul Khaliqin”. Yang artinya: “Ya Allah untuk-Mu aku bersujud, kepada-Mu aku beriman dan aku serahkan diriku kepada-Mu, telah sujud wajahku kepada yang telah menciptakannya, membentuk rupanya, memberikan pendengaran dan penglihatannya, Maha mulia Allah pencipta yang paling baik”. (HR Mslim).
Ini menunjukkan kepada kefaqihan Al Hafidz yang menjadikan hadits Ali ini sebagai syahid yang menguatkan hadits ‘Aisyah, padahal hadits Ali bila kita perhatikan adalah untuk sujud secara mutlak. Al Hafidz memahami bahwa hadits Aisyah walaupun untuk sujud tilawah secara khusus namun ia masuk ke dalam kemutlakkan sujud dalam hadits Ali bin Abi Thalib.
Kepada pendapat ini saya condong, karena ini sama saja seperti si Ahmad contohnya menghikayatkan perkataan si Zaid yang berkata: “Apabila sifulan mengambil baju maka ia mendapat sangsi”. Sedangkan si Umar menghikayatkan dari si Zaid: “Apabila si fulan mengambil baju kemeja maka akan saya pukul”. Tentu perkataan si Umar ini tidak bertentangan dengan perkataan si Ahmad dan boleh kita katakan bahwa perkataan si Ahmad menguatkan perkataan si Umar walaupun perkataan si Ahmad bersifat mutlak. Wallahu a’lam.

Fiqih hadits

Setelah kita memaparkan derajat hadits ini dan bahwasannya yang rajih adalah hadits ini berderajat hasan, maka disunnahkan kita membaca dzikir ini ketika melakukan sujud tilawah.

source : http://cintasunnah.com/takhrij-hadits-sajada-wajhi-doa-sujud-tilawah/ tanggal 26 Mei 2013

Wednesday 15 May 2013

9 Orang Yang Tidak akan Diajak Bicara Oleh Allah





Allah akan mengajak bicara hamba-hambaNya kelak pada hari kiamat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ
“Tidak ada seorangpun dari kamu kecuali akan diajak bicara oleh Rabbnya ‘Azza wa Jalla tanpa ada penterjemah antara ia dan Allah.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Namun diantara hambaNya ada yang diajak bicara oleh Allah dengan keras dan penghinaan, akibat perbuatan dosa yang mereka lakukan. Allah tidak melihat mereka dengan penglihatan kasih sayang, namun dengan kemurkaan. Tentu orang seperti ini akan mendapat adzab yang pedih. Na’udzu billah min dzalik.
Lalu siapakah mereka yang tidak diajak bicara oleh Allah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan dalam empat hadits tentang mereka. Yaitu:
 ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ » قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَ مِرَارٍ. قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian tiga kali. Abu Dzarr berkata, “Merugi sekali, siapa mereka wahai Rasulullah ?” Beliau bersabda, “Musbil (orang yang memakai kain melebihi mata kakinya), dan orang yang selalu mengungkit pemberiannya, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim).
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ – قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ – وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِر
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan tidak akan mensucikannya.. Abu Mu’awiyah berkata, “Dan Tidak akan dilihat oleh allah.” Dan bagi mereka adzab yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja yang suka berdusta, dan orang miskin yang sombong.” (HR Muslim).
ثَلاَثٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلاَةِ يَمْنَعُهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ لَهُ بِاللَّهِ لأَخَذَهَا بِكَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا وَفَى وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا لَمْ يَفِ
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Seseorang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, namun ia mencegahnya dari ibnussabil yang membutuhkannya. Dan orang yang berjual beli dengan orang lain di waktu ‘Ashar, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia mengambilnya segini dan segini, lalu orang itu mempercayainya padahal tidak demikian keadaannya. Dan orang yang membai’at pemimpinnya karena dunia, bila ia diberi oleh pemimpin ia melaksanakan bai’atnya, dan bila tidak diberi maka ia tidak mau melaksanakan bai’atnya.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ رَجُلٌ حَلَفَ عَلَى سِلْعَةٍ لَقَدْ أَعْطَىَ بِهَا أَكْثَرُ مِمَّا أَعْطَى وَهُوَ كَاذِبٌ وَرَجُلٌ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ كَاذِبَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ مَاءٍ فَيَقُوْلُ اللهُ الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ فَضْلِيْ كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ تَعْمَلْ يَدَاكَ (رواه البخاري)
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan Allah tidak akan melihat mereka, yaitu orang yang bersumpah untuk (melariskan) dagangannya bahwa ia telah memberi (harga) lebih banyak dari (harga) yang ia berikan padanya, padahal ia berdusta. Dan orang yang bersumpah palsu setelah ‘Ashar untuk mengambil harta milik seorang muslim. Dan orang yang mencegah kelebihan airnya, maka Allah akan berfirman, “Hari ini aku akan mencegah karuniaKu kepadamu sebagaimana kamu dahulu pernah mencegah kelebihan air yang bukan usaha tanganmu.” (HR Al Bukhari).
Dari empat hadits di atas, kita dapati ada sembilan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan dilihat dan disucikan, dan baginya adzab yang pedih, yaitu:
1. Orang yang memakai kain melebihi mata kaki (musbil).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang isbal dalam hadits yang banyak, namun sebagian orang ada yang mempunyai pendapat yang tidak tepat, yaitu bahwa larangan berbuat isbal itu bila disertai dengan kesombongan, berdasarkan hadits:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang menyeret kainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Abu Bakar Ash Shiddiq:
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة ) . قال أبو بكر يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه ؟ فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( لست ممن يصنعه خيلاء )
“Dari Abdullah bin Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menyeret kainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, sesuangguhnya salah satu bagian kainnya melorot tetapi aku berusaha untuk menjaganya (agar tidak melebihi mata kaki).” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau tidak melakukannya karena sombong.” (HR Al Bukhari).
Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits ini mengikat kemutlakan larangan isbal, artinya bahwa isbal itu dilarang bila disertai kesombongan, namun bila tidak disertai kesombongan maka hukumnya boleh.
Inilah fenomena kedangkalan dalam pemahaman. Karena bila kita perhatikan hadits Abu bakar di atas, tampak kepada kita bahwa Abu bakar tidak melakukan itu dengan sengaja, oleh karena itu Nabi menyatakan bahwa Abu bakar tidak melakukannya karena sombong. Ini menunjukkan bahwa orang yang melorotkannya dengan sengaja melebihi mata kakinya adalah orang yang sombong walaupun pelakunya mengklaim dirinya tidak sombong. Karena isbal itu sendiri adalah kesombongan sebagaimana dalam hadits:
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّ إِسْبَالَ الْإِزَارِ مِنْ الْمَخِيلَةِ
“Jauhilah olehmu isbal (memakai kain melebihi mata kaki), karena isbal itu termasuk kesombongan”. (HR Abu dawud).[1]
Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqolani rahimahullah berkata, “Isbal itu berkonsekwensi kepada menyeret kain, dan menyeret kain itu berkonsekwensi kepada kesombongan walaupun orang yang melakukannya tidak bermaksud sombong.” (Fathul Baari 10/275).
Imam Ibnul ‘Arobi Al maliki rahimahullah berkata, “Tidak boleh bagi seorangpun untuk memakai kain melebihi mata kakinya dan berkata, “Aku tidak sombong.” Karena larangan isbal telah mencakupnya secara lafadz dan illatnya.” (‘Aridlotul Ahwadzi 7/238).
Jadi klaim bahwa larangan isbal itu diikat dengan kesombongan adalah pendapat yang ganjil dan aneh, karena isbal itu sendiri sudah termasuk kesombongan walaupun pelakunya tidak bermaksud sombong sebagaimana yang katakan oleh Al Hafidz ibnu hajar tadi. Terlebih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingkari beberapa shahabat yang kainnya melebihi mata kaki tanpa bertanya, “Apakah kamu melakukannya karena sombong?” diantaranya adalah hadits ibnu Umar ia berkata:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَفِى إِزَارِى اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ « يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ ». فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ « زِدْ ». فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ.  
“Aku melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sementara kainku melorot. Beliau bersabda, “Wahai Abdullah, angkat kainmu.” Akupun mengangkatnya. Beliau bersabda, “Tambah!” Akupun menambah (mengangkat)nya. Semenjak itu aku selalu menjaganya.” (HR Muslim).
Dari ‘Amru bin Syariid dari ayahnya berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَ رَجُلًا مِنْ ثَقِيفٍ حَتَّى هَرْوَلَ فِي أَثَرِهِ حَتَّى أَخَذَ ثَوْبَهُ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ وَاتَّقِ اللَّه قَالَ فَكَشَفَ الرَّجُلُ عَنْ رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَحْنَفُ وَتَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengikuti seseorang dari Tsaqif sehingga beliau berjalan dengan cepat lalu beliau memegang bajunya dan bersabda, “Angkat kainmu! bertakwalah kamu kepada Allah” Lalu orang itu membuka kedua lututnya dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ahnaf (yang berkaki bengkok berbentu X), dan kedua lututku beradu.” Beliau bersabda, “Setiap ciptaan Allah Azza wa Jalla itu indah.” (HR Ahmad dan lainnya).[2]
Lihatlah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya terlebih dahulu apakah kamu sombong atau tidak? Ternyata tidak. Ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan isbal dengan sengaja adalah orang yang sombong walaupun pelakunya merasa tidak sombong.

2. Orang yang suka mengungkit pemberiannya.
Mengungkit pemberian adalah perkara yang dapat membatalkan amal, Allah Ta’ala berfirman:
ياأيها الذين ءامنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى كالذي ينفق ماله رئاء الناس ولا يؤمن بالله واليوم الأخر
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membatalkan sedekah kalian dengan mengungkit dan menyakiti, seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya ingin dilihat manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.” (Al baqarah: 264).
Hendaklah seorang muslim bertakwa kepada Allah dan tidak mengungkit kebaikan-kebaikannya kepada orang lain, baik kepada teman, anak, atau kaum fuqoro. Karena pemberiannya itu adalah untuk kebaikan dirinya sendiri dan pahala untuk persiapan menuju kematiannya.

3. Orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu.
Melariskan dagangan dengan sumpah dusta adalah modal orang-orang yang bangkrut dan mencabut keberkahan dagangannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang yang sedang berjual beli itu punya khiyar (pilihan) selama keduanya belum berpisah, jika keduanya jujur dan menjelaskan maka jual belinya akan diberkahi. Dan jika keduanya menyembunyikan (aib) dan berdusta maka akan dicabut keberkahannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim).

4. Orang tua yang berzina.
5. Raja yang suka berdusta.
6. Orang miskin yang sombong.
Tiga orang ini amat memalukan, karena tidak ada sesuatu yang mendorong mereka melakukan hal tersebut. Ini menunjukkan kepada tabiat yang buruk dan sengaja ingin berbuat maksiat. Al Qadli ‘Iyadl rahimahullah berkata:
خصص المذكورون بالوعيد لان كلا منهم التزم المعصية مع عدم ضرورته إليها وضعف داعيتها عنده فأشبه إقدامهم عليها المعاندة والاستخفاف بحق الله وقصد معصيته لا لحاجة غيرها فإن الشيخ ضعفت شهوته عن الوطء الحلال فكيف بالحرام وكمل عقله ومعرفته لطول ما مر عليه من الزمان  …والامام لا يخشى من أحد وإنما يحتاج إلى الكذب من يريد مصانعة من يحذره والعائل قد عدم المال الذي هو سبب الفخر والخيلاء فلماذا يستكبر ويحتقر غيره ؟
“Mereka dikhususkan dengan ancaman, karena mereka berpegang kepada maksiat padahal tidak ada perkara yang mendorongnya, dan pendorongnya amat lemah. Ini menunjukkan bahkan perbuatan mereka itu karena ‘ienad (menentang) dan meremehkan hak Allah dan tujuannya hanya untuk berbuat maksiat bukan karena ada sesuatu yang lain.
Orang yang telah tua renta telah lemah syahwatnya untuk menjimai yang halal terlebih yang haram, ia telah sempurna akal dan pengetahuannya karena telah banyak makan garam… Seorang raja tidak perlu takut kepada siapapun, karena dusta biasanya dilakukan agar terhindar dari keburukan orang yang ia takuti. Dan orang fakir tidak punya harta yang merupakan sebab kesombongan dan keangkuhan, lantas mengapa ia sombong dan menganggap remeh orang lain? (Ad Diibaaj syarah shahih Muslim 1/122).

7. Orang yang bersumpah palsu di waktu ashar untuk mengambil harta muslim dengan tanpa hak.
Perbuatan ini berkumpul tiga keburukan, yaitu bersumpah palsu, dilakukan di waktu yang mulia yaitu waktu ashar, dan mengambil harta muslim. Sumpah palsu sendiri adalah termasuk dosa besar, dan menjadi lebih besar lagi bila dilakukan di waktu yang mulia, dan waktu ashar adalah waktu yang mulia di sisi Allah. Berdasarkan hadits ini dan dalil lainnya.
Bagaimana jadinya bila ternyata disertai mengambil harta muslim, padahal harta seorang muslim itu haramnya sama dengan keharaman bulan haram di negeri yang haram dan di hari yang mulia (Arofah). Sebagaimana dalam hadits:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram atas kalian seperti keharaman hari ini, di bulan ini dan di negeri ini.” (HR Al Bukhari dan Muslim).

8. Orang yang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, namun mencegahnya dari orang yang membutuhkannya.
Perbuatan ini akibat kekikiran yang sangat sehingga mencegah ia untuk memberikan kelebihan air kepada ibnussabil yang amat membutuhkannya. dan sifat kikir itu seringkali menimbulkan perbuatan yang dimurkai oleh Allah Azza wa jalla, dalam hadits:
إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخَلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا
“Jauhilah Syuhh (kikir yang sangat), sesungguhnya syuhh membinasakan orang-orang sebelum kalian. Syuhh menyuruh mereka untuk bakhil, menyuruh untuk untuk memutuskan tali silaturahim, dan menyuruh untuk berbuat kejahatan, merekapun melakukannya.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani).

9. Orang yang membai’at pemimpin karena dunia.
Membai’at pemimpin yang sah adalah perkara yang diperintahkan oleh islam. Kewajiban rakyat adalah mentaati pemimpinnya dengan penuh keikhlasan karena mengharap keridlaanNya. Orang yang membai’at pemimpinnya dengan ikhlas, ia akan menjalankan hak pemimpinnya walaupun ia tidak diberi, bahkan walaupun ia dizalimi. Sebagaimana dalam hadits:
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قُلْتُ : كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ :« تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Akan ada setelahku pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku, dan akan ada pemimpin yang hatinya bagaikan hati setan pada tubuh manusia.” Aku berkata, “Apa yang harus aku lakukan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun tubuhmu dipukul dan hartamu diambil, tetaplah mendengar dan taat.” (HR Muslim).
Membai’at karena dunia adalah sumber fitnah. Sebab orang yang demikian tidak akan mau mentaati pemimpin jika ia tidak diberi harta atau kedudukan. Bahkan ia akan berusaha dengan berbagai cara untuk memburukkan pemimpinnya karena ia tidak diberi. Seperti yang terjadi di zaman ini, terutama dari kalangan wartawan yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka.


[1] Lihat shahih Jami’ Ash Shaghier no 98.
[2] Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam silsilah shahihah no 1441.

source : http://cintasunnah.com/9-orang-yang-tidak-akan-diajak-bicara-oleh-allah/ tanggal 15 Mei 2013

Manfaat Menuntut Ilmu


Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kejadian-kejadian yang akan menimpa umatnya di akhir zaman, dan tentunya beliau pun telah memberikan bimbingan untuk umatnya dalam menghadapi fitnah dan kerusakan-kerusakan yang terjadi di zaman itu, karena beliau adalah seorang Nabi yang sangat sayang kepada umatnya, Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berta terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (hidayah) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang kepada orang-orang mu’min.” (QS. At Taubah : 128)
Di antara bimbingan yang telah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berikan kepada umatnya yang akan hidup di akhir zaman adalah:

Menuntut Ilmu Allah

Telah kita sebutkan pada tulisan sebelumnya tentang datangnya zaman yang penceramahnya banyak dan ulamanya sedikit dimana menuntut ilmu di zaman tersebut lebih baik dari beramal. Dan telah datang zamannya sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kita lihat para penceramah sangat banyak bahkan diadakan kursus-kursus untuk menjadi khathib Jumat dalam waktu yang singkat dan menjadi sebab banyaknya penceramah, sementara ulamanya sangat sedikit.
Maka di zaman ini menuntut ilmu lebih baik dari beramal, namun bukan maksudnya ilmu tersebut tidak diamalkan karena ini akan menjadi bumerang untuk pemiliknya pada hari kiamat. Dengan ilmu kita dapat mengetahui suatu fitnah yang datang, kemudian mengambil sikap yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kita pun selamat dan tidak menjadi penyebab semakin tersulutnya api fitnah.
Kita yang hidup di zaman ini seringkali mendapatkan peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa umat Islam yang membuat hati kita panas bercampur geram. Keadaan ini merupakan cobaan untuk para penuntut ilmu untuk segera menilai dengan keilmuan yang dalam bukan sebatas semangat yang membabi buta, agar tidak menimbulkan madharat yang lebih besar untuk Islam dan kaum muslimin.
Seorang penuntut ilmu tidak mudah tertipu dengan berita dan kabar yang disiarkan dalam sebuah media, lebih-lebih media-media di zaman ini telah dikuasai kaum kuffar terutama Yahudi -semoga Allah menghancurkan mereka-.
Orang yang membaca kisah terbunuhnya Utsman bin Affan akan mengambil pelajaran berharga darinya, bagaimana sang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba pura-pura masuk Islam dan melakukan konspirasi besar untuk menghancurkan khilafah Utsman dengan memprovokasi masa dan membakar perasaan mereka melalui kabar-kabar yang dipalsukan. Ini menjadikan kita lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam menerima berita dari media.

Manfaat Menuntut Ilmu
Dengan menuntut ilmu, seorang hamba memperhatikan berbagai macam sisi kemashlahatan dan kemadharatan yang akan timbul dan membaca situasi dan kondisi kaum muslimin di zaman ini sebelum mengambil sikap, cobalah renungkan apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika beliau membahas tentang hikmah adanya ayat makkiyah dan madaniyah:
“Ayat-ayat makkiyah itu berlaku untuk setiap mukmin yang lemah untuk menolong Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan kemampuan yang ada yaitu hati dan yang semisalnya dan ayat-ayat yang menyuruh meremehkan kaum mu’ahadin (orang-orang kafir) berlaku pada setiap mukmin yang kuat dan mempunyai kemampuan untuk membela Allah dan Rasul-Nya dengan tangan dan lisannya. Dengan ayat-ayat seperti ini kaum muslimin mempraktikannya di akhir usia Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan di zaman khulafa rasyidin.
Barang siapa yang berada di suatu negeri atau waktu ia menjadi lemah, hendaklah ia mempraktikan ayat-ayat sabar dan memaafkan orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan kaum musyrikin. Adapun kaum muslimin yang mempunyai kekuatan, hendaknya mereka mempraktikan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi para imam kekafiran yang ingin merusak agama, dan memerangi ahli kitab sampai mereka memberikan jizyah dalam keadaan mereka terhina.”(Ash Shorimul Maslu,l Hal. 221).[1]
Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu hafizhahullah berkata, “Yang menguatkan pendapat Syaikhul Islam adalah firman Allah Ta’ala,
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ اللهِ لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut akan hari-hari Allah, karena Dia akan membalas suatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Jatsiyah: 14).
Allah menyuruh kaum muslimin yang lemah itu agar memaafkan orang-orang kafir yang menyakiti mereka dan jangan membalasnya dengan perbuatan yang semisal dan ini menunjukkan bahwa memberi maaf dalam keadaan kaum muslimin lemah adalah disyariatkan.
Andaikan jamaah-jamaah Islam di zaman ini mempraktikan apa yang ada di dalam Alquran yang menyeru kepada sikap sabar dan memaafkan sampai Allah mendatangkan pertolongannya.”[2]
Dengan menuntut ilmu seorang hamba berusaha memahami hakikat sesuatu sebelum memberikan vonis kepadanya atau kepada jamaah tertentu, mengamalkan sebuah kaidah : “Al Hukmu ‘ala syain far’un ‘an tashowwurihi“. Artinya menghukumi sesuatu itu mengikuti pemahaman tentang hakikat sesuatu tersebut.
Contohnya apabila kita ingin menghukumi suatu jamaah, apakah ia sesat atau tidak, maka kita wajib mengetahui hakikat jamaah tersebut; bagaimana aqidah dan manhajnya? bagaimana pokok-pokok pemikirannya? Agar kita tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan yang akibatnya akan menimbulkan penyesalan.
Demikian pula apabila kita ingin mengetahui hukum jual beli murabahah misalnya, maka kewajiban kita adalah memahami dahulu hakikat murabahah secara jelas bagaimana tata caranya, kemudian melihat dalil-dalil syariat dan fatawa para ulama, sehingga kita tidak salah dalam memvonis sesuatu.
Dengan menuntut ilmu, seorang hamba dapat mengetahui kapan dan kepada siapa ia berbicara, karena tidak semua ilmu yang kita ketahui dapat kita sampaikan kepada setiap orang, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah engkau mengajak bicara suatu kaum dengan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal mereka kecuali akan menjadi fitnah untuk sebagian mereka.”[3]
Abu Hurairah berkata, “Aku hafal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dua bejana, yang satu bejana aku sampaikan dan yang satu lagi apabila aku sampaikan maka tenggorokanku akan diputus.”[4]
Yang disembunyikan oleh Abu Hurairah adalah hadis-hadis mengenai fitnah dan hadis-hadis tentang Bani Umayah, sengaja Abu Hurairah tidak sampaikan agar tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan karena orang-orang pada waktu itu kembali bersatu di bawah kepemimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Menyembunyikan ilmu bila dikhawatirkan timbulnya madharat yang lebih besar adalah perkara yang diidzinkan oleh syariat. Sebagaimana di sebutkan dalam hadis Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
يَا مُعَاذُ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah? Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaklah mereka menyembah Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberi kabar gembira (dengan hadis ini)?” Beliau bersabda, “Jangan, karena khawatir mereka hanya bersandar dengan ini saja (tidak mau beramal).” (HR Bukhari dan Muslim)[5]
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengidzinkan Mu’adz untuk mengabarkannya kepada orang lain karena khawatir akan menimbulkan madharat yang lebih besar yaitu akan dipahami oleh orang-orang yang bodoh dengan pemahaman yang salah yaitu cukup bagi seseorang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dan meninggalkan beramal shalih karena sebatas mengandalkan hadis ini saja. Berbeda jika madharat yang timbul adalah cercaan dan makian manusia akibat kita menyampaikan kebenaran, maka kita tetap diperintahkan menyampaikannya dan tidak perlu takut dengan cercaan orang yang mencerca.
Penulis Ustadz Abu Yahya Badrusalam
Artikel www.cintasunnah.com

[1] Kaifa Nafhamul Qur’an, Hal 32.
[2] Idem.
[3] HR. Muslim dalam muqadimah shahihnya.
[4] HR Bukhari no.120.
[5] Bukhari no.2856 dan Muslim 1:55 no. 30.

source : http://cintasunnah.com/manfaat-menuntut-ilmu/ tanggal 15 Mei 2013

Thursday 9 May 2013

Mari Bershalawat


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَتَانِيْ آتٍ مِنْ عِنْدِ رَبِّي عَزَّ وَ جَلَّ فَقَالَ : مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ مِنْ أُمَّتِكَ صَلَاةً كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَ مَحَا عَنْهُ عَشْرَ سَيِّئَاتٍ وَ رَفَعَ لَهُ عَشْرَ دَرَجَاتٍ وَ رَدَّ عَلَيْهِ مِثْلَهَا .

“Telah datang kepadaku malaikat dari sisi Rabbku ‘Azza wa Jalla, lalu ia berkata: “Barang siapa dari umatmu yang bershalawat kepadamu sekali, Allah akan tuliskan untuknya sepuluh kebaikan, di hapus darinya sepuluh keburukan, diangkat untuknya sepuluh derajat dan dijawab kepadanya seperti apa yang ia ucapkan”. (HR Ahmad dari Abu Thalhah).[1]

Allah Ta’ala dan malaikatNya bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memerintahkan kaum mukminin untuk bershalawat dan mengucapkan salam kepada beliau. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (Al Ahzab: 56).

Malaikat Jibril mendoakan kecelakaan kepada hamba yang disebutkan nama beliau namun tidak bershalawat kepadanya, dan diaminkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda:

شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ آمِيْنَ

“Semoga celaka seorang hamba yang namamu disebut di sisinya namun ia tidak bershalawat kepadamu.” Beliau bersabda, “Amiin.” (HR Al Bukhari dalam kitab Al Adabul Mufrod).[2]

Bahkan beliau menganggapnya sebagai orang yang bakhil.

الْبَخِيلَ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ.

“Orang bakhil adalah orang yang apabila disebutkan namaku di sisinya, ia tidak bershalawat kepadaku.” (HR An Nasai, At Tirmidzi dan lainnya).[3]

Sesungguhnya banyak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengampuni dosa dan mencukupi keinginan. Dalam hadits:

وعن أُبَيِّ بن كعبٍ – رضي الله عنه – : كَانَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ قَامَ ، فَقَالَ : (( يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، اذْكُرُوا اللهَ ، جَاءتِ الرَّاجِفَةُ ، تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ ، جَاءَ المَوْتُ بِمَا فِيهِ ، جَاءَ المَوْتُ بِمَا فِيهِ )) قُلْتُ : يَا رسول الله ، إنِّي أُكْثِرُ الصَّلاَةَ عَلَيْكَ ، فَكَمْ أجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلاَتِي ؟ فَقَالَ : (( مَا شِئْتَ )) قُلْتُ : الرُّبُع ، قَالَ : (( مَا شِئْتَ ، فَإنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ )) قُلْتُ : فَالنِّصْف ؟ قَالَ : (( مَا شِئْتَ ، فَإنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ )) قُلْتُ : فالثُّلُثَيْنِ ؟ قَالَ : (( مَا شِئْتَ ، فَإنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ )) قُلْتُ : أجعَلُ لَكَ صَلاَتِي كُلَّهَا ؟ قَالَ : (( إذاً تُكْفى هَمَّكَ ، وَيُغْفَر لَكَ ذَنْبكَ )) رواه الترمذي ، وقال : (( حديث حسن )) .

“Dari Ubayy bin Ka’ab radliyallahu ‘anhu berkata, “Apabila telah berlalu sepertiga malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri bersabda, “Wahai manusia, berdzikirlah kepada Allah. Telah dekat Ar Rajifah (tiupan sangkakala pertama) yang diikuti oleh Ar Radifah (Tiupan sangkakala kedua). Telah dekat kematian beserta kedahsyatannya, telah dekat kematian beserta kedahsyatannya.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sering bershalawat untukmu, lalu berapa banyak aku jadikan shalawatku untukmu dalam do’aku?” Beliau bersabda, “Terserah keinginanmu.” Aku berkata, “Seperempat?” beliau bersabda, “Terserah kamu, bila kamu tambahkan lebih baik lagi.” Aku berkata, “ Setengah?” Beliau bersabda, “Terserah kamu, bila kamu tambahkan lebih baik lagi.” Aku berkata, “Dua pertiga?” Beliau bersabda, “Terserah kamu, bila kamu tambahkan lebih baik lagi.” Aku berkata, “Bagaimana bila aku jadikan seluruh do’aku untukmu?” Beliau bersabda, “Kalau begitu akan dicukupi keinginanmu dan diampuni dosamu.” (HR At Tirmidzi dan berkata, “Hadits Hasan.”).[4]

Shalawat menjadikan sebuah majelis dirahmati oleh Allah dan pelakunya tidak akan menyesal pada hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا قَعَدَ قَوْمٌ مَقْعَدًا لاَ يَذْكُرُونَ فِيهِ اللَّهَ , عَزَّ وَجَلَّ , وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَإِنْ دَخَلُوا الْجَنَّةَ لِلثَّوَابِ

“Tidaklah suatu kaum duduk dan tidak mengingat Allah Azza wa jalla dan tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali akan menjadi penyesalan bagi mereka pada hari kiamat, walaupun mereka masuk surga karena pahala.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).[5]

Shalawat membuka hijab do’a seorang hamba kepada Allah, karena do’a yang tidak disebutkan padanya shalawat akan terhalang sebagaimana dalam hadits:

كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٌ حَتَّى يُصَلَّى عَلَى النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Setiap do’a itu terhalang sampai bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR Ibnu Makhlad dari Ali bin Abi Thalib).[6]

Fadlalah bin ubaid Al Anshari radliyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendengar seseorang berdo’a dalam shalatnya, ia tidak memuji Allah dan tidak bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Orang ini tergesa-gesa.” Lalu beliau memanggilnya dan bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ

“Apabila salah seorang dari kamu berdo’a, hendaklah ia memulai dengan memuji Rabbnya Azza wa Jalla dan menyanjungNya, kemudian bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian berdo’a setelah itu dengan apa yang ia inginkan.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).[7]

Kaidah yang harus kita ketahui dalam masalah shalawat adalah bahwa kita tidak diperkenankan bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lafadz yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah. Dahulu para shahabat bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang lafadz shalawat:

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّىَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قُولُوا « اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. وَالسَّلاَمُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ

“Dari Abu mas’ud Al Anshari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami yang sedang berada di majelis Sa’ad bin Ubadah. Basyir bin Sa’ad berkata, “Allah telah memerintahkan kami untuk bershalawat kepada engkau wahai Rasulullah, lalu bagaimana bershalawat kepadamu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam hingga kami berharap ia tidak bertanya kepadanya. Kemudian beliau bersabda, “Ucapkanlah: Allahumma Shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa aali Ibrahin wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa aali Ibraahim fil’aalamiina innaka hamiidun majiid.” Adapun salam sebagaimana yang telah kamu katahui.” (HR Muslim).

Lihatlah para shahabat bertanya kepada Rasulullah tentang shalawat, padahal mereka adalah kaum yang sangat fasih bahasa arabnya, mereka mampu menggubah sya’ir yang indah untuk bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini menunjukkan bahwa lafadz shalawat bersifat tauqifiyah artinya harus menunggu dalil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak boleh membuat buat sendiri shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ada beberapa lafadz shalawat yang diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam[8]:

1 – ( اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ) (رواه أحمد والطحاوي بسند صحيح )

2 – ( اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى [ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ] آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ] آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ) ( البخاري ومسلم )

3 – اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ [ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ ] إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [ إِبْرَاهِيْمَ ] وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ) (رواه أحمد والنسائي وأبو يعلى )

4 – ( اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ [ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ ] وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى [ آلِ ] إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ [ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ ] وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [ آلِ ] إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ) (رواه مسلم وأبو عوانة )

5- ( اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى [ آلِ ] إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ [ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ ] [ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ] كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ [ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ ] ) (رواه البخاري والنسائي والطحاوي وأحمد )

6- اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ (عَلَى) أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (آلِ) إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ (عَلَى) أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى (آلِ) إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. (رواه البخاري ومسلم والنسائي)

7- اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. (رواه النسائي)



Tempat dan waktu bershalawat.

Bershalawat kepada Rasulullah amat dianjurkan pada keadaan-keadaan berikut:

1. Di hari jum’at.

Dari Aus bin Aus berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَىَّ ». قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَقُولُونَ بَلِيتَ. فَقَالَ « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ ».

“Sesungguhnya diantara hari yang paling utama adalah hari jum’at; di hari tersebut Adam diciptakan dan dicabut nyawanya. Di hari itu terjadi tiupan sangkakala dan manusia jatuh tersungkur. Maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari tersebut, karena shalawat kalian akan ditampakkan kepadaku.” Mereka berkata, “Bagaimana akan ditampakkan kepadamu sementara engkau telah menjadi tulang belulang?” beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan atas bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (HR Abu dawud).[9]

2. Setelah mendengarkan adzan.

Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

“Apabila kamu mendengar muadzin maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin kemudian bershalawatlah kepadaku karena orang yang bershalawat kepadaku sekali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR Muslim).

3. Masuk masjid.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ لْيَقُلْ : اللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَ إِذَا خَرَجَ فَلْيُسَلِّمْ عَلَى النَّبِيِّ وَ لْيَقُلْ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Apabila salah seorang dari kamu hendak masuk masjid, hendaklah ia bershalawat atas nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan: “Allahummaftahlii abwaaba rohmatika” (Ya Allah, bukakanlah untukku pintu rahmatMu). Dan apabila hendak keluar maka ucapkanlah: “Allahumma inni as-aluka min fadllika” (Ya Allah aku memohon karuniaMu).” (HR Ahmad dan Muslim dari Abu Humaid).[10]

4. Ketika berdo’a.

Karena do’a akan terhalang bila tidak bershalawat, sebagaimana dalam hadits lalu:

كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٌ حَتَّى يُصَلَّى عَلَى النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Setiap do’a itu terhalang sampai bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR Ibnu Makhlad dari Ali bin Abi Thalib).[11]

5. Tasyahud awal dan akhir.

Berdasarkan hadits Abu Mas’ud Uqbah bin Amru:

أَقْبَلَ رَجُلٌ حَتَّى جَلَسَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا السَّلاَمُ عَلَيْكَ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ ، فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ إِذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا عَلَيْكَ فِى صَلاَتِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ. قَالَ : فَصَمَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى أَحْبَبْنَا أَنَّ الرَّجُلَ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ :« إِذَا أَنْتُمْ صَلَّيْتُمْ عَلَىَّ فَقُولُوا : اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِىِّ الأُمِّىِّ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِىِّ الأُمِّىِّ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ».

“Ada seseorang datang lalu duduk di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sementara kami berada di sisinya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepada engkau. Lalu bagaimana kami bershalawat kepadamu apabila apabila kami hendak membaca shalawat di dalam sholat kami? Semoga Allah bershalawat kepadamu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam hingga kami suka kalau ia tidak bertanya demikian. Kemudian beliau bersabda, “Apabila kalian bershalawat kepadaku maka ucapkanlah: “Allahumma sholli ‘alaa Muhammadin Nabiyyil Umiyy… Alhadits (Lihat matan di atas). (HR Ahmad, ibnu Khuzaimah dan lainnya, dan di hasankan oleh Ad Daroquthni dalam sunannya).[12]

6. Shalat jenazah.

Berdasarkan perkataan seorang shahabat:

أَنَّ السُّنَّةَ فِى الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى سِرًّا فِى نَفْسِهِ ، ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِى التَّكْبِيرَاتِ لاَ يَقْرَأُ فِى شَىْءٍ مِنْهُنَّ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِى نَفْسِهِ.

“Yang sunnah di dalam shalat janazah adalah imam bertakbir kemudian membaca al fatihah setelah takbir yang pertama secara pelan pada dirinya. Kemudian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikhlaskan do’a untuk jenazah pada takbir-takbir selanjutnya dan tidak membaca apa-apa. Kemudian mengucapkan salam secara pelan pada dirinya.” (HR Asy Syafi’i).[13]

7. Dalam khutbah.

Ibnu Qayyim dalam kitabnya Jalaa-ul afhaam (hal 526) setelah menyebutkan atsar-atsar dari shahabat berkata, “Ini menunjukkan bahwa bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihoi wasallam dalam khutbah adalah perkara yang masyhur di kalangan para shahabat.”

8. Dalam majelis.

Berdasarkan hadits yang telah berlalu:

مَا قَعَدَ قَوْمٌ مَقْعَدًا لاَ يَذْكُرُونَ فِيهِ اللَّهَ , عَزَّ وَجَلَّ , وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَإِنْ دَخَلُوا الْجَنَّةَ لِلثَّوَابِ

“Tidaklah suatu kaum duduk dan tidak mengingat Allah Azza wa jalla dan tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali akan menjadi penyesalan bagi mereka pada hari kiamat, walaupun mereka masuk surga karena pahala.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).[14]

9. Ketika disebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ini berdasarkan hadits yang telah kita sebutkan sebelumnya:

شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ آمِيْنَ

“Semoga celaka seorang hamba yang namamu disebut di sisinya namun ia tidak bershalawat kepadamu.” Beliau bersabda, “Amiin.” (HR Al Bukhari dalam kitab Al Adabul Mufrod).[15]

Bahkan beliau menganggapnya sebagai orang yang bakhil.

الْبَخِيلَ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ.

“Orang bakhil adalah orang yang apabila disebutkan namaku di sisinya, ia tidak bershalawat kepadaku.” (HR An Nasai, At Tirmidzi dan lainnya).[16]

10. Disela-sela takbir dalam shalat ‘ied.

Dari ‘Alqamah bahwa Al Walid bin Uqbah keluar menuju Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa dan Hudzaifah, ia berkata, “Sesungguhnya hari ‘ied telah dekat, bagaimana cara bertakbir padanya?” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Mulailah dengan bertakbir sebagai pembuka shalatmu, lalu pujilah Rabbmu dan bershalawat kepada Nabi Muhammad. Kemudian kamu berdo’a dan bertakbir dan kamu lakukan lagi seperti tadi.. dan diakhir kisah tersebut disebutkan bahwa Abu Musa dan hudzaifah membenarkannya. (HR Al Baihaqi dalam sunannya 3/291).[17]

Walaupun ini adalah perkataan ibnu Mas’ud, namun disetujui oleh shahabat lainnya dan tidak diketahui adanya shahabat lain yang menyelisihi beliau. Oleh karena itu imam Al baihaqi setelah menyebutkan atsar tersebut berkata, “Ini adalah mauquf dari perkataan ibnu Mas’ud, namun kita mengikuti beliau dalam berdzikir di sela-sela takbir karena tidak ada riwayat dari shahabat lain yang menyelisihi beliau. Tetapi kita menyelisihi ibnu Mas’ud dalam jumlah takbir berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perbuatan penduduk makkah dan Madinah dan amalan kaum muslimin sampai hari ini.”[18]





[1] Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Shahih Jami’ non 57.

[2] Al Adabul Mufrod 1/224 no 644.

[3] Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Shahih Jami’ no 5189.

[4] Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam silsilah shahihah no 954.

[5] Syaikh Al Albani berkata, “Shahih.” Lihat silsilah shahihah no 76.

[6] Dihasankan oleh Syaikh Al AlBani dalam silsilah shahihah no 2035.

[7] Lihat shahih Sunan Abi Dawud no 1331.

[8] Lihat sifat sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hal 165-167 karya Syaikh Al AlBani.

[9] Sunan Abu Dawud (1/562 no 1533). Dishahihkan oleh Syaikh Al bani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no 962.

[10] Shahih jami’ no 516.

[11] Dihasankan oleh Syaikh Al AlBani dalam silsilah shahihah no 2035.

[12] Lihat kitab Jalaa-ul Afhaam karya ibnu Qayyim hal 67 tahqiq Syaikh Masyhur Alu Salman.

[13] Asy Syafi’i dalam Al Umm (1/270). Namun di dalam sanadnya terdapat Mutharif bin Mazin, ia dianggap pendusta oleh Yahya bin Ma’in. Namun ibnul Jarud meriwayatkan dari jalan Abdrurrazzaq dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif. Ini adalah sanad hyang shahih. Oleh karena itu Syaikh Al AlBani menshahihkannya dalam irwa-ul ghalil no 734.

[14] Syaikh Al Albani berkata, “Shahih.” Lihat silsilah shahihah no 76.

[15] Al Adabul Mufrod 1/224 no 644.

[16] Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Shahih Jami’ no 5189.

[17] Dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih sunan Abi Dawud. Syaikh Masyhur berkata dalam tahqiq jalaa-ul afhaam (hal 228), “Sanadnya shahih, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan As Sakhawi dalam Al Qoulul Badie’.

[18] Al Baihaqi, Sunan Kubro 3/291.

source : http://cintasunnah.com/mari-bershalawat/

Awas Dukun !!!


Fenomena Maraknya Perdukunan

Maraknya kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan alternatif cukup kuat, tak Cuma jamu tradisional dan pijat refleksi, tapi pengobatan lewat makhluk halus seperti jin banyak diminati.

Konglomerat jin, misalnya juga ikut laris, para normal menurut istilah kerennya, dukun menurut istilah kampungnya, orang pintar / tua menurut istilah jawanya…telah bermunculan dimana-mana.

Sebutan boleh berbeda – beda, namun hakikatnya tetap sama, sama-sama menyimpang dan merusak aqidah islam yang benar.
Trend sosialisasi dukun

Gelar paranormal akhir-akhir ini semakin mencuat. Di Surabaya misalnya ada gelar paranormal, di Surakarta ada gelar penyembuhan supra natural, di Yogyakarta ada nuansa supra natural yang ternyata peminatnya kian membludak, lebih-lebih di dukung pula dengan media visual dan audio visual.

Sebagaimana lazimnya kegiatan tersebut di barengi dengan acara seperti praktek jasa para normal, demo ilmu gaib, bursa batu mulia dan lain-lain.

Khusus di Yogya, setiap malam masih diadakan acara saresehan yang dihadiri dukun – dukun pakar. Diantaranya ahli primbon, betaljemur, dukun ahli pengobatan, dukun ahli perkutut, ahli ramal dan dukun pawang hujan. Para tokoh paranormal laki-laki dan perempuan datang dari berbagai penjuru antara lain, Jakarta, Surabaya, Malang, Madiun, Pati dan Yogyakarta sendiri.masing-masing membuka praktek sesuai keahlianya.

Melihat sekilas dari beberapa kegiatan diatas, nampaknya dunia klenik dan perdukunan secara mencolok telah menjamur di segenap pelosok tanpa malu-malu sekalipun dengan sebutan yang berbeda-beda. Banyak masyarakat indonesia yang tidak berpegang kepada aqidah yang benar selalu menjadikan orang pintar, paranormal, dukun, tabib dan sebangsanya menjadi tempat bertanya, tempat mengadu, tempat mencurahkan segala keluh kesah dan tempat bersandar.

Tidak jarang mereka justru menjadi pihak yang lebih dipercaya petuah-petuahnya dan lebih dipatuhi titahnya dari pada syari’at islam dan orang tuanya sendiri. Itu mencakup segala persoalan, mulai dari masalah kesehatan, jodoh, pangkat, rizki…sampai pada masalah santet dan tenung. Orang sakit parah (dokter katanya sudah angkat tangan) datang kepada dukun, tabib atau yang sebangsanya. Orang ingin cepat mendapat jodoh, cepat naik pangkat, cepat kaya juga datang ke tempat orang pintar ini. Seolah-olah mereka adalah orang-orang yang serba bisa dan serba mampu mengatasai masalah. Trik-trik yang sering mereka gunakan seperti :” inikan hanya ikhtiyar, yang menentukan kan Tuhan “. Adalah trik-trik jitu yang sangat efisien untuk memperdayakan orang-orang awam muslim yang bodoh.
Realita yang menantang

Itulah salah satu kenyataan realistik yang tidak boleh dipandang dengan sebelah mata. Ini fakta yang sangat memprihatinkan. Siapapun da’I yang bertanggung jawab, tidak boleh membiarkan umat terjerumus dalam jurang kemusyrikan.

Realita ini merupakan fenomena yang aneh. Aneh tapi nyata. Orang berakal sehat akan bertanya-tanya, mengapa di zaman tekhnologi dan komunikasi yang serba canggih ini ternyata klenik, mistik, dan perdukunan masih lengket, bahkan terkesan semakin lengket dengan kehidupan masyarakat ?

Adalah kabar yang tak bisa ditutup tutupi bahwa tokoh-tokoh, pemuka masyarakat dan para pegawai tinggi maupun rendahan banyak yang masih menyerahkan persoalan kehidupan kepada paranormal. Yang maju memang tekhnologinya tapi jiwa dan aqidah masyarakat banyak yang masih rapuh dan terbelakang.

Sebab utama dari semua itu adalah karena Tauhidnya kepada Allah masih belum benar, atau bahkan belum ada sama sekali. Apalagi kecenderungan manusia lebih suka dengan hal-hal yang cepat terwujud dalam bentuk nyata di dunia dan tidak sabar menghadapi wujud nyata yang akan datang nanti di akhirat. Mereka amat suka bila sekarang di dunia memperoleh kebaikan duniawi sekalipun harus menempuh cara yang salah.

Melihat fenomena ini, maka upaya paling utama adalah dengan memahamkan hakikat tauhid, dan menanamkan rasa tawakkal yang kuat hanya kepada Allah saja.
siapakah dukun itu ?

Imam Bukhary dalam shahihnya, kitab Ath Thibb telah membuat bab tersendiri berjudul bab al kahanah yakni bab tentang perdukunan. Dalam keterangannya, Al hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa :” al kahanah ialah pekerjaan mengaku-aku tahu tentang ilmu ghaib, seperti pemberitaan mengenai apa yang bakal terjadi di muka bumi dengan penyandaran terhadap sebab, asal usulnya berasal dari kabar jin yang mencuri dengar perkataan malaikat, kemudian hasil curiannya tersebut disampaikan ke telinga dukun “. (fathul bary 10/216).

Selanjutnya beliau memberikan penjelasan tentang pengertian dukun, katanya :” dukun ialah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut seorang tukang ramal, atau orang yang suka menebak sesuatu dengan menggunakan batu kerikil, atau seorang ahli nujum. Juga di gunakan untuk menyebut orang yang suka (memberikan jasa) mengatasi persoalan atau memenuhi kebutuhan orang lain (misalnya pengobatan alternatif lewat kekuatan gaib –pen).
Tanda-tanda dukun

Jika didapati pada seseorang salah satu dari tanda berikut ini, maka dapat disimpulkan bahwa ia adalah dukun, sekalipun ia memakai sorban atau memakai kerudung, diantara tanda-tandanya yaitu :

suka bertanya nama pasien dan nama ibunya.
suka mengambil sesuatu yang biasa dipakai pasien, seperti baju, peci, sapu tangan dan lain-lain.
terkadang meminta binatang dengan sifat-sifat tertentu untuk disembelih, kadang darahnya dioleskan kebagian-bagian tubuh yang sakit, atau dibuang ketempat angker.
suka menuliskan rajah-rajah.
membaca mantera-mantera jimat atau huruf-huruf rajah yang tidak bisa difahami.
memberi bungkusan hijib kepada pasien yang berisi huruf-huruf dan angka-angka.
kadang menyuruh pasien untuk menjauhi manusia beberapa waktu dengan menyepi dan mengurung diri dalam sebuah kamar gelap yang disebut oleh orang awam sebagai hujbah.
kadang minta pasien untuk tidak menyentuh air selama beberapa hari, biasanya 40 hari.
memberi sesuatu kepada pasien untuk ditanam di dalam tanah.
memberi lembaran kertas kepada pasien untuk dibakar, lalu asapnya digunakan untuk mengasapi dirinya.
berkomat-kamit dengan bahasa yang tidak difahami.
terkadang memberi tahu kepada pasien tentang namanya, kampung halamannya, kesulitan yang dihadapi sebelum si pasien memberitahu.
terkadang menuliskan huruf-huruf untuk si pasien diatas kertas hijib untuk dimasukkan kedalam bejana putih berisi air, kemudian meminumnya.

(Asharimul battar hal. 77-78 karya Abdussalam bali).

Perlu diketahui bahwa kesaktian paranormal itu bertingkat tingkat, sesuai dengan ketinggian jin yang menjadi kawannya. Lebih hebat jinnya maka harus lebih hebat pula kemusyrikan yang diperbuatnya. Bahkan sampai ada yang menjadikan mushaf al qur’an sebagai alas kaki pada waktu buang air besar di WC, agar yang datang kepada dirinya adalah setan/jin yang sangat sakti. Bahkan kalau perlu berkawan dengan iblis sekalian !!

Adalah satu keniscayaan, bahwa antara dukun dengan segala istilah dan tingkatannya, serta iblis yang meliputi seluruh bala tentaranya saling bahu membahu dalam kemaksiatan dan kesyirikan, memerangi kebenaran dan menghiasi kemaksiatan dan kesirikan dengan kata-kata indah yang menggiurkan.
Sumber ilmu paranormal / dukun

Imam Bukhary dalam sahihnya meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu’anha, beliau berkata :” orang-orang bertanya kepada Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tentang para dukun. Maka beliau menjawab :” tidak ada apa-apanya “. Maka para sahabat berkata :” Ya Rosulallah, mereka kadang – kadang bisa menceritakan sesuatu yang benar kepada kami “. Maka Rosulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab :

تلك الكلمة من الحق يخطفها الجني فيقرها في أذن وليه فيخلطون معها مئة كذبة

“Kalimat tersebut berasal dari kebenaranyang dicuri dari seorang jin (dari langit), kemudian dituangkan kedalam telinga walinya (dukun), maka mereka mencampurkan kalimat yang berisi satu kebenaran tersebut dengan seratus kebohongan “. (no 5762).

Dalam hadits tersebut ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik, diantaranya :

bahwa dukun terkadang benar, tapi kebohongannya jauh lebih banyak.
bahwa jiwa manusia cenderung lebih mudah tergoda untuk menerima kebatilan. Misalnya, sekali dukun terbukti benar, maka jiwa akan terpengaruh untuk selalu memegang satu kebenaran yang pernah terbukti, sementara ia tidak akan menganggap adanya sekian banyak kebohongan yang dilakukan para dukun.
Bahwa apabila sesuatu mengandung kebenaran, maka tidak berarti sesuatu itu seluruhnya benar.
Imam Bukhary menyebutkan riwayat lain dari Abu Hurairah, Nabi bersabda :” Apabila Allah memutuskan perkara dilangit, para malaikat memukulkan sayapnya karena tunduk mendengar firmanNya, seolah-olah (suara firmanNya) bak gemerincing rantai besi yang terlempar pada batu. Maka ketika rasa takut telah hilang dari hati malaikat, mereka bertanya :” apa yang telah dikatakan Rabbmu ? malaikat lain menjawab :” Allah telah mengatakan al haq, sedangkan Dia Maha Tinggi dan Maha Besar. Maka disaat itu ada setan pencuri kabar yang mendengarkannya. Dan setan-setan itu seperti ini…sebagian yang satu naik keatas sebagian yang lain. Kemudian setan pencuri kabar tersebut berhasil mendengarkan kalimat (wahyu dari Allah), lalu ia sampaikan kepada setan yang berada dibawahnya, setan yang dibawahnya menyampaikan kalimat tersebut kepada setan yang dibawahnya lagi sampai akhirnya sampai kelidah tukang sihir atau dukun. Terkadang setan tersebut keburu diterjang bintang api sebelum sempat meyampaikan kalimat tersebut, terkadang mereka berhasil meyampaikannya kemudian ditambahkan dengan seratus kebohongan bersama dengan kalimat kebenaran yang dicurinya tadi. Akibatnya orang-orang berkata :” Bukankah dukun itu t
elah berkata kepada kami hari begini dan begini (dengan benar) demikian dan demikian ? walhasil si dukun dipercayai orang karena satu kalimat benar yang didengarnya dari langit “. (no. 4800).
Hadits diatas menunjukkan bahwa sumber ilmu para dukun berasal dari pengabaran para setan yang mencuri kabar langit kemudian di campuri dengan seratus kebohongan.
Tapi sayang, orang lebih tertipu dengan satu kebenaran dan melupakan seratus kebohongan yang dikatakan oleh para dukun.

Asal usul mengapa seseorang menjadi dukun

Ada beberapa sumber cara hingga seseorang menjadi dukun, diantaranya :
1. bersumber dari warisan nenek moyang secara turun temurun.

Ini biasanya karena jin-jin (khadam) yang dimiliki nenek moyang kemudian akrab dan menjadi pengasuh serta berkuasa atas anak keturunannya.
2. bersumber dari apa yang mereka sebut kasyaf, ilham, wangsit atau renungan.

Mereka beranggapan, bahwa dari sanalah mereka dapat mengetahui ilmu ghaib atau ilmu laduni. Dengan dasar itulah mereka mengklaim bahwa dirinya adalah wali yang mendapat karamah, dan makhluk halus yang berbicara dengan dirinya adalah malaikat.

Akibatnya orang awam banyak yang datang untuk meminta berkah kepada mereka atau meminta agar kebutuhannya dapat dipenuhi. Ini jelas merupakan kebohongan yang nyata. Sesungguhnya mereka memang wali, tapi wali setan, sama sekali bukan wali Allah. Sedangkan daya linuwih yang mereka sebut sebagai karamah atau ilmu laduni sebenarnya hanyalah sihir. Dan makhluk halus yang disangka malaikat tidak lain hanyalah jin dan setan.

Allah Ta’ala menegaskan dalam firmanNya :

وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلىَ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ

“sesungguhnya setan itu membisikkan (wahyunya) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu…(Al An’am : 121).

Al Hafidz Ibnu Katsir berkata :” Ibnu ‘Abbas berkata :” wahyu itu ada dua macam, wahyu dari Allah dan wahyu dari setan… wahyu dari setan diberikan kepada kawan-kawannya dengan tujuan menyerang para pengikut kebenaran “.
3. bersumber dari benda-benda yang keramat.

Atau istilah sekarang benda-benda mulia seperti batu mulia, kayu bertuah, wesi aji, kulbuntet, merah delima, qur’an stambul dan lain-lain.

Benda-benda tersebut konon bisa didapatkan dari para nenek moyang atau dari makhluk halus melalui tapa, semedi, atau beli dari para dukun.
Bahaya Dukun Dan Perdukunan

Islam memandang perdukunan sebagai suatu perbuatan yang berbahaya yang dapat mengancam aqidah seseorang yang berakibat menjadi batal keislamannya, diantara bahaya dukun dan perdukunan adalah :
1. sihir adalah salah satu pembatal keislaman.

Para ulama memasukkan sihir salah satu pembatal keislaman sebagaimana yang disebutkan oleh Syeikh Muhammad At Tamimy dalam kitab beliau “ Nawaqidlul islam “ (pembatal-pembatal islam). Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَمَا يُعَلِّماَنِ مِنْ أَحَدٍ حَتىَّ يَقُوْلاَ إِنَّماَ نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ

“ Dan keduanya (harut dan marut) tidak mengajari seseorang (ilmu sihir) kecuali setelah mengatakan kepadanya :” sesungguhnya kami ini hanyalah cobaan (buatmu) maka janganlah kamu menjadi kafir…” (QS 2 : 102).

Ibnu Abbas berkata menafsirkan ayat tersebut :” apabila ada orang yang datang kepada keduanya (Harut & Marut) untuk belajar sihir, keduanya melarang dengan keras dan berkata :” kami ini hanyalah cobaan untukmu maka janganlah kamu mejadi kafir, karena keduanya mengajarkan kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekafiran. Dan mengetahui bahwa sihir termasuk kekafiran…”.
2. mengaku-aku tahu yang ghaib adalah termasuk menyekutukan Allah dalam kerububiyahan-Nya.

Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah, firmanNya :

ُقلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّماَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ

“ Katakanlah : Tidak ada siapapun dilangit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah “. (QS An Naml : 65).

Ibnu Katsir berkata :” Allah memerintahkan RosulNya untuk menyampaikan bahwa siapapun dari penghuni langit dan bumi tidak ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah saja “. (3/452).

Allah memberitahu kabar gaib hanya kepada RosulNya saja (QS Al Jinn : 26). Dan membantah keyakinan bahwa para jin itu mengetahui gaib, firmanNya :”Maka tatkala Kami memenetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkanya kepada mereka kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka saat ia tersungkur, para jinpun tahu bahwa kalaulah mereka tahu yang gaib tentu mereka tidak akan tetap di dalam siksa yang menghinakan “. (QS Saba’ : 14).

Menurut Ibnu Abbs, Mujahid, Hasan Al Bashry, Qatadah dan yang lainnya, dalam waktu yang lama kematian Nabi Sulaiman tidak diketahui hingga rayap memakan tongkatnya dan Nabi Sulaiman jatuh tersungkur ke bumi. Baru kemudian nyatalah kepada jinn dan manusia, bahwa jin tidak mengetahui yang gaib. (Tafsir Ibnu Katsir 3/638-639).

Praktek-praktek perdukunan, seperti melihat nasib baik buruk seseorang, mencari barang yang hilang, mengetahui ihwal orang lain, dan yang semacam itu melalui cara semisal membaca garis tangan seseorang, menghubungkana nasib dengan huruf, juz, atau ayat-ayat tertentu, melihat dalam mangkuk dan lain sebagainya merupakan perkara kekafiran dan dosa yang sangat besar sebagaimana yang disebutkan oleh imam Adz Dzahaby dan Ibnu Hajar Al Haitamy.
3. Dukun menyekutukan Allah dalam keuluhiyahanNya.

Suatu yang biasa bila dukun mendekatkan diri kepada jin dengan berbagai macam bentuk ibadah seperti menyembelih untuk jin (roh), padahal Rosulullah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (HSR Muslim) dan menyembelih adalah ibadah yang hanya diperuntukkan kepada Allah, orang yang memalingkannya kepada selain Allah telah berbuat syirik besar.

Mereka juga minta perlindungan dan bantuan jinn sedangkan keduanya adalah ibadah yang harus ditujukan hanya kepada Allah, walhasil seorang dukun semakin kuat ketaatannya kepada jin (khadamnya) maka semakin senang pula jinn kepadanya, dan keduanya saling menikmati satu sama lainnya.

Hal itu telah Allah kabarkan dalam firmanNya

“ Dan ingatlah hari Allah menghimpun mereka semua, (dan Allah berfirman): hai golongan jin (setan) sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan manusia. Lalu berkata kawan-kawan mereka dari golongan manusia : Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian lainnya, dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau telah tentukan bagi kami. Allah berfirman : Neraka itulah tempat tinggal kalian, kekal selama-lamanya, kecuali Allah menghendaki lain. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana dan Maha Tahu “ (QS Al An’am : 128).
4. Mendatangi dukun dan mempercayainya adalah kekafiran terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Sallallahu’alaihi wasallam.

Dalam hadits sahih Nabi bersabda :

من أتى كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد

“Barang siapa mendatangi dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, sunguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhamad”. HR Ahmad, sahih).
5. Dukun memperolok agama Allah.

Diantara dukun ada yang menulis al qur’an dengan kotoran manusia, ada pula yang menjadikannya sebagai alas kaki ketika buang hajat, ini jelas sebuah Perbuatan yang keji dan kemurtadan yang terang, diantara mereka ada yang mencari kekuatan dengan cara membaca ayat-ayat tertentu sehingga tidak mempan di bacok, dapat menjatuhkan orang dari jarak jauh.

Hal itupun merupakan perbuatan memperolok ayat-ayat Allah, setan dapat masuk kepada manusia dengan cara yang bid’ah tersebut. Karena al qur’an tidaklah turun untuk hal itu tapi sebagai peringatan kepada manusia dan pemberi kabar gembira.
6. sihir adalah perkara yang dapat membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat.

Nabi bersabda :” jauhilah tujuh perkara yang membinasakan ; menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan jihad, dan menuduh wanita muslimah yang menjaga kehormatannya telah berbuat zina “.(Muttafaq ‘alaih).
7. Sihir menzolimi orang lain.

Sering kali dukun menyakiti orang lain dengan santet, pelet, dan sejenisnya, mengguna-guna orang sehingga hidupnya hancur, jelas ini adalah kezaliman yang tidak akan Allah biarkan.

Wallahu a’lam.

source : http://cintasunnah.com/awas-dukun/.

Translate

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More